Cerpen : Dua dunia


Di teras rumah sederhana itu..di atas kursi bambu tua terduduklah pasangan suami istri ditemani setumpuk pakaian yg akan diserahkan kepada pelanggan mereka. Pasangan suami istri ini sudah tidak muda lagi, guratan pahit manis kehidupan terlihat jelas di kulit wajah mereka. Sore itu pasangan yg sehari-harinya bekerja sebagai penyedia jasa laundry mengepak pakaian sembari menunggu anak bungsunya pulang sekolah. Anak bungsu yg sangat disayanginya dan itu pun juga berlaku untuk anak sulung yg merantau di Pulau Kalimantan.
Si bungsu kini tumbuh menjadi gadis manis, beratus teman di sekolah maupun dunia maya, dan ah..seperti kebanyakan gadis seusianya yg sedang dilanda perasaan aneh. Perasaan yg membuatnya senang tak terkira di waktu yg tak tentu. Perasaan yg jika salah menyikapinya akan menimbulkan dampak yg luar biasa hebat.
Ada yg berbeda dari ekspresi kedua orang tua ini, garis kesedihan nampak diantara guratan kulit yg menua. Pagi tadi si bungsu menangis. Walau sudah duduk dibangku kelas 2 SMA kadang beberapa kebiasannya terasa unik. Dia menangis karena ingin punya gadget baru yg lebih keren, biar bisa chit chat sana sini, biar ga dikira cupu, biar dianggap keren, biar bisa upload foto langsung dari ponsel. Tapi ah betapa si bungsu sering kali melupakan kondisi ekonomi keluarga yg serba terbatas. Biaya sekolahnya saja sebagian ditanggung oleh kakaknya.
Orang tua ini sadar betapa sedihnya hati si bungsu dan betapa ingin sekali mereka memenuhi keinginan anak gadis kesayangan mereka. Sering kali ibu termenung di sudut dapur saat memasak, memikirkan keadaan keluarga mereka. Setiap hari menghadapi kelakuan anak gadisnya yg tak kunjung mandiri. Sering tetangga sebelah memamerkan anaknya yg juga seusia dengan si bungsu, tetangga itu mengatakan bahwa anaknya rajin, suka membantu orang tua, mengantar ke pasar, dan lain sebagainya. Sudah barang tentu ada kepingan kecil dalan hati sang ibu, rasa iba. Bukan pada dirinya tapi pada nasib anaknya kelak. Beliau membayangkan jika saat ini saja dia belum bisa mandiri lalu bagaimana kelak ketika ternyata anak gadisnya sudah menikah, menjadi istri dan ibu. Atau bagaimana jika dalam waktu dekat ternyata ajal menjemput dirinya dan suaminya bagaimana si bungsu akan melanjutkan kehidupan. Ah, rupanya beginilah hati seorang ibu, sekalipun anaknya sering berbuat sekehendak hati, meminta ini itu atau hampir tak pernah membantu tapi hatinya tetap lembut dan penuh kasih sayang. Dalam tiap sholat dan sepertiga malam terakhir tak hentinya beliau memohon agar anaknya menjadi anak yg sholeh&sholeha.
Sebenarnya bukan tak pernah, sering malah orang tua ini menasehati anaknya agar bisa membedakan mana keinginan dan mana yg benar-benar kebutuhan, agar lebih mandiri dalam menjalani hidup. Usaha tersebut nampaknya belum membuhkan hasil. Tapi mereka tak berputus asa, mereka yakin kelak anaknya akan menjadi pribadi yg lebih baik.
Sang ayah pun demikian, bahkan sering kali beliaulah yg sangat sigap kalau-kalau peralatan sekolah anak bungsunya habis atau hilang maka beliau akan segera membelikan. Tak pernah satu kata kasar pun yg keluar dari lisannya. Seperti hari itu, saat ibunya sakit berat si bungsu bukan merawat justru main bersama temannya. Ingin rasanya beliau meminta agar menemani ibunya. Namun jawaban si bungsu selalu berhasil meluluhkan hatinya.
Bagi mereka hidup serba terbatas bukanlah derita karena besarnya cita-cita mereka terhadap anak gadisnya itu. Mereka ingin sekali kelak si bungsu hidup bahagia, mengenyam bangku kuliah, hidup sukses dan yg paling penting taat pada Tuhan. Cita-cita dan amanah sebagai orang tualah yg mebuat mereka bersabar dengan segala ujian ini.
Tanpa sadar air mata sang ibu membasahi pipinya, air mata karena besarnya keyikan pada Tuhan akan cita-cita tersebut dan air mata bahagia karena si bungsu pulang dengan selamat.
Di sudut kota yg lain. Di tengah keramain terduduk pula seorang gadis yg usianya jauh lebih muda. Bukan, ia bukan saudara si bungsu. Ini kisah lain. Ia adalah putri tunggal salah satu konglomerat di kotanya. Tapi itu dulu, tepatnya dua tahun lalu.
Gadis yg duduk di bangku SMP kelas 3 itu duduk menunggui dagangannya, jajanan khas kota itu. Sambil menunggu pembeli tak jarang ia melihat remaja seusianya jalan-jalan sore bersama orang tua atau teman. Hal itu membuatnya teringat akan kebiasaannya dulu di sore hari. Sepulang sekolah biasanya ia pergi makan atau ke toko buku bersama temannya, saat weekend ia dan orang tuanya pergi bertamasya, sungguh menyenangkan dan teramat sempurna kehidupannya dulu. Kini kebiasaan itu berganti dengan rutinitas berjualan jajan buatan ibunya, setiap sore sepulang sekolah. Tak ada lagi restoran atau toko buku atau wisata akhir pekan.
Perubahan itu bermula saat perusaahn ayahnya bangkrut akibat ditipu oleh rekan kerjanya. Habis sudah masa kejayaan mereka. Rumah dan mobil mewah terjual begitu saja. Ah saat itu rasanya roda kehidupan sedang menghimpit mereka, tak ada pilihan lain selain menerimanya. Penerimaan yg tulus karena keluarga ini memiliki pemahaman yg baik terhadap takdir. Begitu pula putri tunggal mereka.
Di luar dugaan gadis kecil itu ternyata sungguh tegar menghadapi kenyataan. Tak ada rasa malu atau keluh kesah yg keluar dari lisannya. Baginya bisa berkumpul dengan kedua orang tua adalah nikmat yg sungguh membahagiakan.
Saat itu karena keterbatasan dana mereka memutuskan memindahkan putrinya ke sekolah negri yg biayanya jauh lebih terjangkau. Tanpa ba bi bu si gadis  kecil pun menyetujui, asal masih bisa menuntut ilmu sudah cukup baginya. Entah darimana datangnya kedewasaan gadis berusia 15 tahun itu. Sungguh adaptasi yg bisa dikatakan kilat. Ibunya yg memiliki keahlian membuat kue segera menjadikannya sebagai jalan menjemput rejeki. Dan tanpa diminta, putrinya menawarkan diri menjajakan jajanan tersebut. Sementara sang ayah yg tak memiliki sepeser uang untuk dijadikan modal usaha kini bekerja sebagai supir.
Sampai detik ini gadis itu ingat betul hadist yg disampaikan guru agamanya bahwa salah satu ibadah yg utama adalah berbakti pada orang tua dan bahwa doa anak sholeha akan menjadi amalan jariyah untuk orang tuanya. Dengan pemahamn itulah ia senantyasa bersemangat membantu orang tuanya. Sebisa mungkin ia tak mengeluh di hadapan orang tuanya walau tak dipungkiri rasa sedih pasti ada dalam hatinya saat mengingat kehidupan yg dulu. Ia pun anak yg cerdas dan baik sehingga di sekolah barunya ia dijadikan pengurus mushola putri atau kadang diminta tolong gurunya merapikan pekerjaan. Tak banyak pendapatannya tapi begitu senangnya hingga ia segera menyerakan pada orang tuanya.
Ah betapa beruntung orang tua itu memiliki putri sepertinya.
Pernah suatu ketika sang ayah mendapat kecelakaan sehingga ibunya harus menjaga di rumah sakit. Tak ada jajanan yg dibuat dan dijual, akhirnya tanpa kekurangan akal ia pun menjual koran keliling agar tetap mendapatkan uang. Ia berjualan koran pagi hari sebelum berangkat ke sekolah dan selama itu pula ialah yg mengurus rumah. Ia menggantikan tugas ibunya memasak, mencuci pakain, dan segala pekerjaan rumah lainnya.
Siapa bilang ia tak sedih?siapa bilang ia tak lelah? Ia pernah merasa sedih juga lelah tapi perasaan itu ia curahkan hanya pada Tuhannya karna ia yakin setiap ujian pasti sudah terukur sesuai kemampuannya. Kalaupun sedih masih menggelayuti pikirannya maka sesegera mungkin ia menepisnya karena ia tahu orang tuanya juga pastilah merasa demikian, ia tak ingin menambah beban mereka. Sebaliknya orang tua ini juga mengerti betapa keadaan mereka sekarang membuat putrinya terguncang tapi sikap yg ditunjukkan oleh putri mereka justru membuat hati mereka buncah oleh kebahagiaan. Hingga mereka berdoa lirih agar Tuhan ridho pada anaknya karena mereka pun telah ridho.

0 komentar:

Posting Komentar


up